Wartadermayu – Di antara semilir angin sore yang menembus celah-celah terpal lusuh, Heri Sujati duduk memeluk lutut. Bocah 10 tahun itu tak berkata apa-apa, hanya menatap langit yang perlahan meredup.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Di Desa Ranjeng, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Heri tak punya lagi rumah, tak punya lagi orang tua, tapi masih menyimpan harapan. Harapan itu akhirnya mulai mendapat jawaban.

Kehidupan Heri yang menggantung di tenda darurat bersama sang kakek mencuri perhatian publik usai pemberitaan gencar media online.

Kisahnya mengundang empati, bukan hanya dari warga, tetapi juga pejabat daerah. Camat Losarang, Boy Billy Prima. S, STP, pun turun langsung ke lokasi, menyusul instruksi dari Bupati Indramayu, Lucky Hakim, yang meminta agar masalah ini segera ditindaklanjuti melalui sinergi dengan Baznas.

“Kemarin ada pemberitaan dari media soal keluarga di tenda, dan benar kami langsung turun. Ini anak yatim piatu, tinggal dengan kakeknya, rumahnya roboh, dan sekarang tinggal di tenda,” ujar Camat Boy kepada KabarIndramayu, Sabtu 17 Mei 2025

Ia menjelaskan bahwa kasus ini sebenarnya sudah masuk daftar pengajuan bantuan sejak awal tahun.

Namun birokrasi dan skala prioritas kerap jadi dilema. Pemerintah kabupaten, melalui program Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu), sejatinya telah memproses permohonan bantuan sejak Januari.

Tapi karena di tahun sebelumnya ada warga yang lebih parah, hingga tinggal di kandang kambing, maka prioritas bantuan diberikan ke sana lebih dulu. Kini, setelah giliran itu tuntas, barulah Heri menjadi fokus penanganan. Kata Camat Boy

Meski begitu, Camat Boy memastikan bahwa Heri dan keluarganya tak benar-benar luput dari perhatian negara.

“Untuk jaminan kesehatan sudah masuk BPJS PBI, bantuan sosialnya juga tercover lewat program sembako Rasdog. Bahkan Heri sudah didampingi Yayasan LKS Bapelgold selama lebih dari empat tahun,” ungkapnya.

Yayasan tersebut bergerak di bawah pengawasan Dinas Sosial Kabupaten Indramayu dan telah menjadi penghubung penting bagi anak-anak dalam kondisi rentan seperti Heri.

Pendampingan itu bukan sekadar administratif, tapi juga menyangkut psikososial Heri yang ditinggal orang tuanya sejak kecil dan harus tumbuh dalam kondisi serba kekurangan.

Pihak Baznas juga sudah digerakkan, sebagai bentuk respons cepat terhadap kondisi darurat. Sambil menunggu realisasi pembangunan rumah layak, Baznas memberikan bantuan Rutilahu Rp .15.000.000

Namun, hadirnya aparat di lokasi menjadi penegas bahwa Heri tidak sendirian dalam perjuangannya.

“Kami paham bahwa masyarakat banyak yang butuh bantuan, dan semuanya penting. Tapi harus ada skala prioritas. Sekarang giliran Heri, dan kita pastikan bantuannya segera direalisasi,” tambah Camat Boy.

Kisah Heri adalah gambaran kecil dari mozaik persoalan sosial yang masih membayangi pelosok negeri. Namun di balik getirnya kisah itu, ada titik terang yang mulai menyala.

Satu janji ditepati, satu harapan mulai diangkat. Heri mungkin belum punya rumah baru hari ini, tapi ia kini tahu: tangisnya tak jatuh sia-sia.***

( Bakrudin)